Senin, 06 Mei 2013

Kemelut Kabut di Kabupaten Tegal by ...

Kemelut Kabut di Kabupaten Tegal by ...



KEMELUT KABUT KABUPATEN TEGAL
Kumpulan cerita rakyat legenda kabupaten Tegal
Oleh Takwid Budiharso
Dinas P dan K Pemerintah Kabupaten Tegal


Datangnya bangsa Belanda di bumi Nusantara mengakibatkan bangsa Indonesia semakin tertindas, apalagi setelah berdirinya VOC dengan system monopoli perdagangannya. Kompeni Belanda semakin Pongah sehingga kemisikinan dan kesengsaraan rakyat pun tidak dapat dihindarkan.
Sultan Hayokrokusumo tidak tahan melihat penderitaan rakyatnya. Sebagai Raja yang bijaksana , beliau merencanakan penyerangan terhadap VOC di Batavia. Diangkatlah putra Adipati Brang Wetan yang setia kepada Mataram yang bernama Martoloyo menjadi Adipati Tegal untuk mempersiapkan logistic makanan dan lumbung padi dan peralatan perang di wilayah Barat Pulau Jawa.
Setelah persiapan matang maka Sultan Hayokrokusumo memerintahkan Baurekso untuk segera menyerang VOC di Batavia. Dengan pasukan yang bernama Kalatida, Baurekso yang dibantu oleh Suro Agulagul, kyai Adipati Mandurejo dan Temanggung Upasanta menyerang Belanda. Dengan bekal semangat yang membara dan tekad yang membaja serta gagah berani, akhirnya dapat memukul mundur dan memporak-porandakan pasukan Belanda.
Karena kekalahan dan korban yang tidak sedikit , VOC merasa penasaran. Maka digunakanlah siasat licik dan kotornya, yaitu dengan membendung Sungai Ciliwung dan membakar lumbung-lumbung pangan yang ada di Kerawang dan Cirebon sehingga Mataram dapat didesak mundur dan lumpuh karena kekurangan persediaan makanan. Baurekso kemudian menarik mundur tentara Mataram.
Mendengar kekalahan tentara Mataram, Sultan Agung menjadi masgul hatinya. Tetapi lain halnya dengan Adipati Martoloyo kekalahan itu tifak menjadikan patah semangat. Ia bersumpah akan terus berjuang mengusir penjajah Belanda dari Bumi Nusantara.
Setelah Sultan Agung wafat, yang kemudian digantikan oleh putranyayang bernama Amangkurat I sebagai Raja Mataram. Tetapi sayangnya, sifat Sunan Amangkurat I tidak sebijak dan searif ayahnya. Dalam memengang tampuk pemerintahan Sunan Ambagkurat I sangat semena-mena shingga kurang mendapat simpati rakyat. Adiknya sendiri yang bernama Pangeran Alit dibunuh karena dituduh merebut selirnya yang bernama Rara Mangli. Hal ini memicu timbulnya pemberontakan Pasingsingaan . Rakyat semakin benci setalh diketahui bahwa Amangkurat I bekerjasama dengan Belanda.
Trunajaya Adipatid ari Madura meberontak terhadap Mataram untuk menuntut bals atas kematian ayahnya yang dibunuh oleh Amngkurat I. apalagi ia merasa berhak atas thata Mataram.
Amanagkurat merasa kewalahan menghadapai Trunajaya. Situasi pemerintah di Mataram semakin tak menentu. Dalam keadaan kalut dan terjepit, Amangkurat I meninggalkan keratin bersma keluarga dan prajuritnya yang setia menuju Batavia untuk meminta bantuan kepada kompeni Belanda.
Smapai di Banyumas, Amangkurat I jatuh sakit karena kelelahan dan tertekan jiwanya. Mengingat keadaan kesehatannya nyang semakin buruk, maka berpesanlah Amangkurat O kepada putranya yang bernama Pangeran Anom.
“ Putraku, perlu kamu ketahui, sehubungan dengan kesehatan Yah, maka jika Ayah meninggal kelak, jenazah Ayah agar dimakamkan di TegalArum.”
“Dan yang kedua, teruskan perjuangan untuk merebut kembali Mataam dari tangan Trunajoyo.Selanjutnya kamu segera mengutus Narantaka (Gendowor ) untuk segera menjemput Adipati Martoloyo agar segera menyusul ke Banyumas.
Setelah menyampakan pesan, rombongan pun meneruskan perjalanannya. Sampai di Ajibarang, Amangkurat I wafat. Pangeran Anom memerintahkan rombongan untuk menruskan perjalanannya sambil mencari tempat untuk menyucikan jenazah ayahnya.
Sampai di daerah Bumiayu, rombongan dirsuruh berhenti. “Untuk mendapatkan safaatnya di Bumi yang ayu inilah jenazah ayahku harus disucikan,”kata pangeran Anom. “Untuk itu saya mohon untuk segera mencari tempat yang layak untuk upacara penyiraman.”
Mereka kemudian mencari tempat dan mempersiapkan beberfapa sarana untuk penyucian jenazah. Dengan dibantu oleh para warga setempat, upacara penyiraman pun dengan penuh hikmat.
Sebelum meninggalkan tempat, Pangeran Anom berujra,”Para kadang nayaka praja yang saya cintai. Perlu Andika ketahui, sebagai peringatan anak cucu kita kelak daerah ini kuberi nama Pasiraman. “
Setelah berujar demikian, dengan iringan sholawat dan dzikir rombongan iringan pengusung jenazah meneruskan perjalanannya menuju tempat pemakaman seperti yang telah diamanatkan. Rombongan iringan jenazah berhenti untuk beristirahat dan temapt tersebuit diberi nama oleh Pangeran Anom BATU AGUNG, karena  terdapat terdapat batu besar.
Esok harinya, para bala punggawa diperintahkan untuk sebagian pergi kembali ke Mataram untuk memberikan kabar keluarga dan sebagian yang lainnya tetap melanjutkan perjalanan. Dan akhirnya tempat ini diberi nama Balapulang.
Adipati melanjutkan perjalanan ke Kadipaten Tegal. Sesampainya nsegera diadakan upacara Pemakaman Raja Amangkurat I. Setelah itu, Pangeran Anom dinobatkan sebagai Raja Mataram di Keraton Tegal dan diberi gelar Amangkurat II.
Amangkurat II kemudian kembali ke Mataram bersama dengan sisa-sisa lascar Mataram yang masih setia. Untuk mengatur pemerintahan, sementara menempati daerah Jepara.
Monopoli perdagangan yang mengakibatkan rakyat sengsara ditambah lagi dengan peraturan tanam paksa yang dilakukan oleh VOC dalam upayanyauntuk mengeruk kekayaan sebanyak-banyaknya menjadikan para petani semakin menderita dan kemiskinan pun ada di mana-mana. Melihat ini semua, Adipati Martoloyo bangki mengerahkan bala tentaranya dengan rakyat mengangkat senjat menyerang penjajah Belanda.
Karena penindasan yang dilakukan Belanda, timbul pemberontakan di mana-mana. Tak terkecuali Trunajaya pun tak  henti-hentinya terus mengadakan penyerangan terhadap Belanda di samping mempertahankan kedudukannya di Mataram. Belanda dibuat kewalahan menghadapai tentara Martoloyo dan Trunojoyo, sehingga VOC mengalami  kerugian.
Adipati Martoloyo sadar seandainya ia bersatu dengan pasukan Trunojoyo dengan satu kekuatan akan dengan mudah menumpas kompeni Belanda. Tetapi Martoloyo dihadapkan pada dua pilhan yang sangat berat. Sebagai Adipati di bawah pemerintahan Mataram, ia harus dapat membantu mengembalikan keratin Mataram yang telah dikuasai oleh Adipati Trunojoyo.
Di sisi lain, Adipati Martoloyo sangat menyesalkan sifat dan kelemahan Sunan Amangkurat II yang mengabaikan saran dari para Adipati agar jangan berhubungan dengan Belanda, karena dapat merugikan dan memnacing kemarahan rakyat Mataram.
Pada saat Adipati Martoloyo pergi ke Jepara untuk menyaksikan pelantikan para Adipati, ia dibuat terperanjat dan tercengang karena di situ juga hadir juga DJ Speelman dan pengawalnya sebagai utusan wakil gubernur Jenderal Belanda.
Seusai pelantikan, Sunan Amangkurat II memberikan pebjelasan maksud kedatangan utusan wakil Gubernur Jenderal Belanda.
“Para Adipati, para tumenggung dan para nayaka yang saya hormati, “kata Amangkurat II mengawali pembicaraannya,”Sebenarnya saya mohon maaf. Tentunya Andika semua memaklumi keberadaan dan posisi kita. Untuk merbut kembali keraton Mataram dari tangan Trunojoyo, saya dengan terpaksa meminta bantuan kepada kompeni Belanda karena kemampuan kita yang terbatas. Untuk itu saya mohon dengan sangat agar Andika semua sudi menandatangani perjanjian yang telah saya sepakati.”
Mendengat apa yang relah dituturkan oleh Sunan Amangkurat II, Adipati Martoloyo tidak dapat menahan emosinya, diminta dan dibacanya surat perjanjian yang isinya, “ Kompeni Belanda siap membantu mengembalikan Keraton Mataram dan keamanan di Mataram dengan sayarat, Pantai Utara Pulau Jawa dari Cirebon samapi dengan Jepara harus digadaikan kepada VOC.”
Dengan wajah memerah dan suara yang lantang Martoloyo angkat bicara, “ Kanjeng Sunan , Panjenengan itu raja pengemban amanat rakyat yang sebenarnya harus betindak arif maupun memayu hayuning manungsa dan memayu hayuning bangsa.”
“Yang artinya, seorang pemimpin harus bisa mayungi, madangi, dan membuat sejahtera rakyatnya, “kata Martoloyo. “Tetapi malah sebalikya , tindakan penjenengan itu semakin memperparah kondisi rakyat. Rakyat Mataraam sudah cukup menderita karena aturan monopoli perdagangan dan tanam paksa. Seandainya Pantai Utara Pulau Jwa dari Cirebon sampai Jepara harus digadaika kepada VOC, rakyat nelayan mau makan apa ? Tidak, sekali-kali tidak! Saya tidak setuju!” dengan luapan emosinya yang tidak dapat dibendung Martoloyo meninggalkan persidangan dan langsung ke Kadipaten Tegal .
Sunan Amangkurat  II terperanjat dan tidak menyadari bahwa tindakannya itu keliru sehingga mendapat protes keras dari Adipati Martoloyo. Banyak di antara para Adipati yang memaklumi dan membenarkan serta mendukung sikap yang dilakukan oleh Adipati  Martoloyo.
Di paringgitan Kadipaten Tegal, Martoloyo tampak muram. Rupanya peristiwa pada pelantikan para Adipati di Jepara masih membekas di benaknya. Melihat perilaku suaminya Nini Martoloyo merasa prihatin.
“Kang mas, dalam beberapa hari belakangan ini Kang Mas kelihatan muram, ada apa toh pak? Katakanlah barangkali saya bisa membantu memecahkan masalah yang sedang Kang Mas hadapi.” Kata Nini Martoloyo.” Atau barangkali ada kekeliruan saya dalam mendampingi Kang Mas?”
Martoloyo menarik napas dalam-dalam dan tampak sekilas senyum di balik kepesihannya dan ditatap wajah istrinya dengan penuh kasih.
“Oh tidak Ni Mas. Saya justru bangga mempunyai pendamping seperi kamu, baik dan penuh perhatian. “
“Iya, tetapi mengapa semenjak pulang dari Jepara Kang Mas kelihatan sedih, gelisah, sehingga daharan pun jarang disentuh.”
Martoloyo diam dan bingung apa yang harus dikatakan kepada istrinya. Tiba-tiba datang Narantaka (Gendowor) mengatur sembah.
“Maaf Kanjeng Adipati, di balai Kadipaten ada tamu, yaitu Dimas Kanjeng Adipati Martopuro datang ingin menghadap.”
“Persilakan mereka masuk dan menunggu sebentar,”perintah Martoloyo.
Adipati Martoloyo keluar kemudian memberikan salam  kepada para tamunya.
“Assalamualaikum wr.wb. “
“Wa alaikum slam wr.wb.” jawab Martopuro seraya berdiri berjabat tangan.
“Subhanallah………..semenjakpagi burung pernajak tidak henti-hentinya berkicau, tidak tahunyaakan ada tamu dari Jepara,”kata Martoloyo.”Apa kaba , Di Mas, baik-baik saja bukan ?
“Alhamdulillah, tak kurang suatu apa pun. Semoga Kangmas sekeluarga demikian pula,” kata Martapuro.
“Amin, yah demikian seperti yang Di mas lihat,”kata Martoloyo,”Kok janur gunung Dik Mas datang kemari. Ada perlu apa?”
“Sebelumnya saya mohon maaf kelancangan saya sehingga mungkin mengejutkan hati Kang Mas. Sebenarnya, saya diutus oleh Kanjeng Sunan Amangkurat II, untuk mengundang Kang Mask Jepara. Rupanya Kanjeng Sunan akan memberikan penjelasan tentang eksalahpahaman yang terjadi dan Kang Mas diajak untuk bermusyawarah agar keputusan dapat dicapai dengan baik. Sebab menurut panndangan Kanjeng Sunan, kunci kebehasilan permusyawarat ada di tangan panjenengan Kang Mas.”
Mendengan apa yang disampaikan Martapuro dengan nada setengah memaksa, telinga Martoloyo memerah, sehingga suasana menjadi tegang.
“Tidak, saya tidak mau datang,;”kata Martoloyo  tegas,”Sebab saya yakin Kanjeng Sunan tidak mau mengubah pendiriannya karma Kanjeng Sunan jiwanya lemah, kuran percaya diri dan tidak mau menerima saran dari Adipati.”
“Saya sendiri sebenatnya agak kurang setuju tetap Kanjeng Sunan itu beda. Mungkin kondisi kekuatan Mataram kurang memadai sehingga pelu minta bantuan kepada kompeni Belanda.”
Martoloyo tersenyum sinis mendengar ucapan karena  dalam benaknya ia agak yakin Martopuro memihak kepda Sunan Amangkurat.
“Dik Mas Martopuro, tentunya matamu melek dan telingamu tidka tuli. Kami bersama-sama dengan rakyat dan didukung oleh para Adipati, maju bersama-sama  menyerang Kadipaten-Kadipaten buatan Belanda dan hasilnya satu persatu dapat kami taklukan sehingga kompeni Belanda merasa miris menghadapi kami,”kata Martoloyo.
“Dan lagi dengarkan. Trunojoyo dapat merebut Mataram karena dukungan kekuatan rakyat yang sangat membenci Belanda dan samapi saat ini pun Adipati Trunojoyo masih gigih mengadakan pemebrontakan terhadap Belanda di samping memperrtahakan kedudukannya di keratin Mataram. Sebenarnya Kanjeng Sunan Amangkurat II malu melihat jiwa ksatria yang dimiliki oleh Adipati Trunojoyo.”
“Tetapi, Kang Mas ….”
“Maaf, Dik Mas, jangan dipotong dulu pembicaraanku. Saya heran dan mnyesalkan mengapa di antara anak dan cucunya tidak ada yang meniru kearifan leluhurnya, Sultan Agung Hanyokokusumo, yang berjiwa berbudi bahwa leksana, bertanggungjawab kepada nasib rakyatnya dan memiliki jiwa besar ingin menyatukan Pulau Jawa. “
“Kang Mas saya ke sini sebagai utusan mengajak Kang Mas ke Mataram,” kata Martapuro.
“Maaf, saya tidak mau menjilat ludah yang saya keluarkan. Sabdo pandita Ratu Tan Kena Wola-Wali. Saya yakin kedatanganku ke Mataram, yaitu Jepara, tidak akan bisa mengubah pendirianku Kanjeng Sunan. Kamu , saya ingatkan , jangan sekali-kali menambah penderitaan rakyat karena penindasan semena-mena dari Belanda. Perlu Dik Mas ketahui, seandainya saya menyetujui perjanjian itu, bagaimana nasib para nelayan Mataram? Sudahkan kamu berpikir sejauh itu ?”
“Saya hanya sekedar utusan yang mengemban amanat  dari Kanjeng Sunan. Jadi bisa tidak bisa saya paksa dengan jalan apa pun untuk menghadapi.”
“Saya tetap tidak mau. Daripada saya duduk singgasana yang basah oleh darah dan tulang belulang penderitaan rakyat, lebih abik saya lengser dari Adipati dan saya bersumpah akan tetap bersama-sama dengan rakyat, terus berjuang melawan kedoliman. Oleh karena itu, sekarang juga kamu harus keluar dan sampaikan kepada sesembahanmu,”kata Martoloyo dengan lantang dan tegas.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar